Politik dari Seorang Amatir



Ada yang paham, ada yang tak paham pernyataan politik. Sayangnya, yang tidak paham politik lebih banyak. Sayangnya, ada yang memanfaatkan mereka yang tidak paham pernyataan politik—membuat mereka yang tidak paham pernyataan politik menganggap dirinya sangat amat paham politik. Padahal tidak.

Ini tidak baik. Mereka yang menilai paham politik, padahal tidak, bisa menjurus ke fanatisme. Nalar mereka akan buntu. Hati mereka akan mati. Mereka tak peduli perbedaan. Sering kali argumen yang terbangun dari mereka yang tak paham politik, bersifat sentimen. Lebih mengedepankan emosional dari pada nalar.

Kemajuan demokrasi yang tadinya menghargai perbedaan menjadi mundur karena fanatisme. Obsesi. Mereka yang terobsesi bisa mengunakan segala cara, termasuk menyerang kehidupan pribadi.

Ada yang terjerumus pikiran seperti ini. Ada yang sudah mengetahuinya, kemudian menelaah setiap pernyataan politik. Sayangnya, lebih banyak yang sudah terdorong fanatisme.

Mereka yang tercebur dalam fanatisme politik akan semakin mudah dibohongi. Niccolo Machiavelli dalam bukunya “Sang Penguasa” mengatakan kira-kira seperti ini: Masyarakat mudah dibohongi dengan ilusi-ilusi. Maksudnya ilusi, bisa saja dengan pernyataan politik atau sikap politik.

Dalam sikap politik, seseorang yang pandai memainkan peran kerakyatan di depan kamera, kadang lebih disukai. Orang politik kadang rela menjatuhkan harga diri saat di depan kamera. Apalagi dengan informasi yang sangat mudah saat ini. Permainan peran di depan kamera wajib dilakukan. Namun, politik sebagai alat menuju kekuasaan dan kepemimpinan, harus lah diimbangi dengan kebijaksanaan saat di depan kamera. Bangun politik yang memimpin dengan kewibawaan. Hal ini nantinya bisa mengangkat harkat wibawa bangsa.

Namun, sikap politik juga tak melulu soal kewibawaan. Ada cara memainkan sikap poltik dengan keramahan. Perlu juga meniru sikap generasi muda. Agar suara mereka yang darahnya masih mendidih, terasa diwakilkan oleh pemimpin politik.

Saat paham politiknya kalah oleh sosok yang diwakilinya. Mereka yang tak terima akan memendam kekalahan itu. Ini bisa terjadi bagi mereka yang kalah atau yang menang.

Ideologi yang kalah membawa harga diri dan reputasi. Sebenarnya, pemikiran seperti itu tak belaku bagi yang paham pernyataan politik. Tapi bagi mereka yang tak paham—namun merasa handal—kekalahan itu sulit diterima. Rasa kekalahan itu kemudian dilampiaskan dengan kritik-kritik berdasarkan sentimen atau emosi. Kekalahan membawa kritik ke berbagai bidang. Soal remeh, yang seharusnya bisa selesai dengan cepat, tapi diselalu dihembuskan, hingga menjadi masalah besar. Akibatnya masalah yang lebih besar hilang dari pandangan.

Sedangkan bagi mereka memanfaatkan mereka yang tidak paham politik, sengaja dipelihara guna kepentingan politik. Ini adalah politik eksis.

Politik perlu eksis agar namanya tetap beredar di masyarakat atau pasaran. Supaya ideologinya tetap di lingkaran masyrakat.

Politik itu seni meyakinkan. Untuk meyakinkan seseorang perlu strategi. Perlu siasat pemasaran. Bagaimana caranya orang bisa membeli ideologi politik yang ditawarkan. Kadang orang yang berpolitik memang sengaja mengeluarkan pernyataan politik yang nyeleneh, atau asal ucap. Mereka sadar, di zaman ini, masyarakat akan menanggapi pernyataan polik di media sosial. Boleh jadi, nama mereka akan terus berada dalam pusaran sosial. Ini publisitas gratis. Apa pun tanggapan masyarakat soal pernyatan politik para politisi, tak ada yang bagus atau jelek. Semua publisitas itu bagus. Selama berhasil mendapat respon dari masyarakat. Grup legendaris rap NWA asal Amerika bilang begini: Bad publicity is good publicity.

Bagaimanapun, mereka yang paham atau merasa sangat paham politik adalah hak mereka untuk menyatakan pendapat. Hak ini diamanatkan dalam undang-undang. Ini juga bagian dari demokrasi. Demokrasi yang menurut Mohammad Hatta dalam tulisannya “Demokrasi Kita”, yakni demokrasi asli Indonesia lahir di dalam desa-desa, tumbuh dan hidup sebagai adat istiadat.

Demokrasi model seperti ini mampu bertahan pada zaman feodalisme. Mampu bertahan karena segala hal yang berkepentingan bagi masyarakat ditentukan dalam musyarawah, dan disetujui dengan kata sepakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar