Butuh 17 Tahun. Kejayaan akhirnya kembali ke
Persija.
Ketika politik menghancurkan perbedaan, sepakbola seharusnya bisa
memperbaiki. Sama seperti sastra yang dianggap mampu meluruskan politik yang
bengkok.
Namun nyatanya, masalah sepakbola Indonesia saat ini boleh dikatakan hancur
berantakan. Timnas minim prestasi, fanatisme berlebihan suporter (mengeroyok
pendukung lain sampai mati), Ketua PSSI-nya butuh guru ngaji, isu pengaturan
skor liga yang kembali naik. Maka jadilah tak ada hiburan bagi masyarakat
(penyuka sepakbola) di tahun politik, karena sepakbola sudah dirasuki permainan
lama yang kembali menguat.
Dalam situasi seperti itu, Persija menjuarai Liga 1 setelah 17 tahun
lamanya. Artinya, gelar ke-11 kembali ke Jakarta. Kota Para Juara.
Yang paling bahagia tentu saja Jakmania. Tapi ada yang tak suka, atau
mempertanyakan raihan gelar juara Persija.
Rekan saya salah satunya. Ia menanyakan proses dua gol Persija versus Mitra
Kukar oleh Marko Simic. Sebagai pendukung, tentu saya membela Persija.
"Itu adalah keputusan wasit."
"Siapa pun pemenang liga 1, pasti dicap juara karena mafia."
Isu mafia pengaturan skor memang lagi kencang-kencangnya saat liga 1 2018
akan berakhir. Pemicunya, karena isu tersebut diangkat kembali dalam acara tv
nasional.
Saya tekankan "kembali". Kenapa? Karena masalah ini sebenarnya
sudah pernah diberitakan sebelumnya oleh media. Dan menjadi perbincangan juga
ketika itu. Namun kembali meredup karena tidak ada sanksi yang benar-benar
tegas oleh PSSI, sebagai federasi sepakbola kita.
Boleh jadi saat tim lain yang juara, pendukung Persija mungkin mengeluarkan
sikap serupa. "Mereka menang karena mafia."
Pengaturan skor bukan barang baru di sepakbola. Negara lain pasti pernah
merasakannya. Liga Italia salah satunya yang berani mengungkap hal itu. Namun
bedanya, Italia berani memberantas para pihak, pemain dan klub yang berperan
mengatur skor dengan sanksi. Bukan sanksi di mulut saja, tapi benar-benar
sanksi yang dilaksanakan.
Saya berbincang dengan Budi Sudarsono. Saat itu ia menonton laga akhir
Persija di Liga 1 2018. Budi tidak menutup mata soal pengaturan skor. Ia tahu
mafia sepakbola itu ada. Hanya saja ia memilih diam atau pura-pura tidak tahu.
Lain lagi dengan dengan Bambang Suryo, yang mengaku mantan pengatur skor.
Dia blak-blakan membuka siapa saja yang terlibat pengaturan skor. Langkah dia
berani dan harus diapresiasi. Tapi itu saja tidak cukup. Lawan bicaranya, yang
masuk jajaran PSSI berusaha sekeras-kerasnya, meminta laporan dan bukti adanya
pengaturan skor. Lalu di mana peran PSSI dalam memberantas mafia skor?
Isu ini akan kembali meredup jika tak dibarengi dengan tindakan. Bambang
Pamungkas menyebutnya pengaturan skor bisa jadi bagian dari pemilihan Ketua
PSSI. Atau bisa pula, pengaturan skor bagian dari gaya hidup.
Sementara Rochy Putiray dalam sebuah program di Youtube, berani mengatakan
bahwa juara Liga 1 2018 adalah Persija Jakarta. Bung Rochy boleh beropini. Sama
dengan pedagang Nasi Padang yang ngobrol sama saya. "Liga Indonesia
skornya sudah diatur."
Sebagus apa pun opini, jika tidak ada bukti dan gerakan dari PSSI, isu
pengaturan skor akan naik tenggelam. Tergantung momennya. Mungkin Najwa Shihab
ketika mengangkat isu pengaturan skor, karena Timnas senior kita yang bertanding
buruk. Lalu dikaitkan dengan mafia.
Bisa jadi ketika Timnas bermain bagus, isu mafia akan menghilang sementara.
Tapi untuk juara Liga 1, siapa yang juara, akan selalu dikaitkan dengan mafia
pengaturan skor. Karena mungkin saja PSSI kita adalah mafia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar